Mantan
Terindah
“Hai”,
Aku tersenyum.
Sebelunya kita
sepakat bertemu, di tempat pertama kali kita bertemu. 10 Tahun sudah kita
terpisah, tempat ini pun sudah banyak sekali berubah. Dahulu tempat ini adalah
perkebunan kacang yang membentang luas dihiasi dengan pohon yang menjulang
tinggi di sekelilingnya. Indah sekali, setiap pagi dan sore kau bisa mendengar
suara burung bernyanyi, dan kupu-kupu menari seolah ingin menunjukan bahwa kau
sedang jatuh cinta. Namun Ya, saat itu saya sedang jatuh cinta.
10 tahun berlalu.
Tempat ini pun sudah banyak berubah. Sekitar 100 m2 di depanku adalah tempat
pembuangan sampah dan hampir semua menjadi perumahan. Tapi aku masih ingat
betul terakhir kali dan seperti apa tempat ini sebelumnya. Hanya sedikit yang
tidak berubah, yaitu “Aku”.
“Hai, kau lihat
banyak yang berubah di sini, 10 tahun sudah aku melihat perubahan ini, tapi
tidak denganmu”. Katanya sambil tersenyum
“Kau benar, banyak yang berubah. Tapi ya mungkin inilah hidup”. Jawabku
Lalu dia mengeluarkan suatu benda, dari dalam tas kecil berwana coklat dengan aksen kota paris di kulit luarnya.
Lalu dia mengeluarkan suatu benda, dari dalam tas kecil berwana coklat dengan aksen kota paris di kulit luarnya.
“Kau masih ingat ini?, ini adalah pemberianmu yang katamu akan selalu
melindungiku”. Katanya sambil menunjukan kalung kecil.
Aku ingat betul itu adalah kalung pemberian saat dia ulang tahun yang ke-18.
Aku meberinya karena aku tahu perjalanan kami masih panjang, saya harap ada
suatu benda yang bisa melindungi dia saat jarak dan waktu memisahkan kita.
“Aku masih ingat
betul, dan aku tau kau ini penjagaku.” Terusnya sambil memandangku dengan mata
berkaca-kaca.
“Ternyata kau masih
menyimpannya ya?”, jawabku.
“Hanya ini yang tersisa, karena aku tidak mungkin membuangnya.” Katanya sambil
memberikan kalung itu kepadaku.
Kalung itu terlihat masih bagus, tidak jauh berbeda saat 9 tahun yang lalu aku
membelinya. Aku membelinya dengan menabung uang saku sekolah. Dan tak lupa
sesekali bekerja paruh waktu, gajinya pun kutabung untuk hadiah ulang tahunnya
kala itu.
“Dia benar-benar
menyimpannya”. kataku dalam hati sambil melihat matanya yang masih
berkaca-kaca.
“Terimakasih sudah menjadi baik saat itu”. Katanya sambil membungkukkan badan
dan terlihat air matanya seketika menetes membasahi pipi dan jatuh di
rerumputan berbunga. Entah kenapa ini
sudah lama sekali dan dia masih
menyimpannya.
“Sudah jangan seperti
itu, kamu sudah bahagia sekarang. Bukan saatnya kamu menangisi aku yang bukan
siapa-siapa ini.” Kataku sambil menepuk pundaknya pelan.
“Iya, Terimakasih.
Aku harus pulang sepertinya, sebentar lagi aku harus memasak untuk keluargaku.”
Sambil mengusa air mata, dia menjulurkan tangannya serasa mengajak bersalaman. Di jarinya sudah terdapat cincin emas berwana putih, dengan simbol ‘hati’ dan terlihat sekilas namanya dan seseorang terukir di cincin itu.
Sambil mengusa air mata, dia menjulurkan tangannya serasa mengajak bersalaman. Di jarinya sudah terdapat cincin emas berwana putih, dengan simbol ‘hati’ dan terlihat sekilas namanya dan seseorang terukir di cincin itu.
“Baiklah, terimakasih
juga kalung ini apakah jadi milikku lagi?” Tanyaku sambil menyalaminya erat.
Tangannya masih sama seperti dulu. Tangan yang hangat yang seakan mengantarku
kembali ke memori masa cinta monyet di era remaja sekolah SMA.
“Iya kau boleh
memilikinya lagi, kalung itu sudah 9 tahun lebih melindungiku, dan sekarang aku
percaya dia akan melindungimu.” Katanya sambil memegang tanganku dengan kedua
tangannya.
“Aku
jadi teringat saat kita masih sekolah dulu. Caramu tertawa kadang masih
membuatku cekikikan sendiri loh”. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat saat gadis itu tertawa ngakak. Suaranya
khas. Suara itu yang kadang membuat
teman-teman dan gurunya senewen. “Ah, dulu ibumu ngidam burung kutilang, ya,
“tanya gurunya.“Wow, enak saja Bapak bilang, nggak Pak. Yang bener burung
kuntul, “ timpalnya sambil meringkikkan tertawa khasnya. Sungguh aku masih belum mengerti
mengapa semua kenangan itu masih tersimpan rapi di dalam memoriku.
“Hahahaha…
aku tak menyangka waktu cepat berlalu secepat ini” katanya sambil menatap
kalung yang menggantung di lehernya.
Matahari
perlahan terbenam, langit yang kala itu biru berubah menjadi kuning keemasan.
Burung-burung terlihat hinggap tepat di sarang tempat tinggalnya, seperti
berbagi canda bersama anak-anaknya. Hanya beberapa orang yang masih remaja
terlihat keluar dari perumahan itu, mereka sepertinya hendak bertemu kekasihnya
seperti kala itu aku dengannya.
Sesaat kemudia Suara
adzan terdengar, seolah memanggil jiwa manusia, untuk kembali berkumpul
beribadah dengan keluarga.
“Astafirullah sudah
adzan. Aku harus pulang. Calon suamiku juga sepertinya sudah pulang”. Katanya
dengan cepat-cepat membetulkan tasnya.
“Baiklah hati-hati, berjanjilah akan selalu baik-baik saja ya.” Kataku sambil mengayunkan tangan perpisahan.
“Iya, terimakasih
buat semuanya, kau adalah lelaki yang paling baik yang pernah aku temui. Aku
percaya kau akan bahagia dengan seseorang nantinya, kau akan menemukannya”.
Katanya sambil tersenyum.
“Amin ya Tuhan, udah
jomblo 10 tahun ini ahaha”. Kataku bercanda sambil tertawa.
“ahaha kamu masih lucu tidak berubah.” Jawabnya sambil tertawa.
“ahaha kamu masih lucu tidak berubah.” Jawabnya sambil tertawa.
Aku
sengaja menghentikan tawaku, untuk melihat dia tertawa. Tawanya cantik, seperti
kala itu yang selalu sukses membangkitkan semangatku.
Sesaat kami hening sebentar, dia melambaikan tangan perpisahan.
“Terimakasih atas
kalung rosarionya, aku menyayangimu selalu. Wassalamualaikum teman masa kecil”.
Katanya sambil membalikkan badan, sebentar dia menengok dan tersenyum saat
menyampaikan pesannya.
“Iya… , tidak, aku yang harusya berterimakasih, karena cerewetmu dahulu sering
ngajakin rutin Misa di Gereja. Sampai sekarang aku lebih rajin ke Gereja,
hehehe. Terimakasih. Ucapku dalam hati.
Dia terlihat berjalan
cepat, sedikit berlari kecil tergesa-gesa ingin bertemu keluarga dan calon
suaminya.
“Tempat yang indah,
dulu. Terimakasih”. Ucapku dalam hati.